Apakah Iman
bertentangan dengan Apologetika? Karena Apologetika itu sendiri berkaitan
dengan memberikan pembelaan berdasarkan bukti-bukti. Sedangkan Iman itu sendiri
seakan-akan berdiri sendiri dan tidak memerlukan bukti, karena iman adalah
bukti itu sendiri. Ibrani 11:1 jelas menyatakan hal itu: Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan
dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.
Saya
akan mejelaskan maksud dari Habermas dan Licona tersebut. Kis.17:2 (Seperti biasa Paulus masuk ke rumah ibadat
itu. Tiga hari Sabat berturut-turut ia membicarakan dengan mereka bagian-bagian
dari Kitab Suci.) menjelaskan bahwa Paulus berbincang-bincang dengan
mereka, orang-orang Yahudi disana dan membungkam mereka dan menunjukkan bahwa
Mesaia harus mati dan bangkit (ayat 3: “Ia
menerangkannya kepada mereka dan menunjukkan, bahwa Mesias harus menderita dan
bangkit dari antara orang mati, lalu ia berkata: "Inilah Mesias, yaitu
Yesus, yang kuberitakan kepadamu."). Tentu saja dalam diskusi itu,
Paulus mempergunakan kitab suci.
Setelah
dari Thesalonika, Paulus berangkat ke Berea dan kemudian ke Athena untuk
menunggu Silas dan Timotius. Di Athena Paulus berdiskusi dan berapologetika di
Aeropagus. Paulus mempergunakan tulisan dari pujangga-pujangga Yunani untuk
menyatakan iman Kristennya (2).
Karena
itulah Paulus menuliskan dalam I Korintus 9:21, “Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi
seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup
di luar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat
memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat.”
Gerald
Lewis Bray menuliskan bahwa orang Kristen tidak dapat memaksa orang lain
percaya Kristus, tapi setiap orang dapat bersaksi apa yang Allah telah lakukan
dalam hidupnya. Orang Kristen harus dapat menuturkan bagaimana mereka memahami
dunia ini, seperti apa posisi mereka didunia ini dan tujuan keberadaan mereka
Orang Kristen yang kabur mengenai hal ini tidak akan pernah mengkomunikasikan
iman mereka kepada orang lain (3).
Dari
Prinsip Bray dapat kita simpulkan bahwa iman mengenai injil harus disampaikan
bersamaan dengan kesaksian hidup itu sendiri. Kalau demikian, apa bedanya
menyampaikan injil dengan bahan bukti dengan menyampaikan injil dengan
kesaksian? Keduanya adalah hal yang merupakan tambahan yang memperkuat
apologetika Injil itu sendiri.
H.
Wayne House dalam makalahnya yang berjudul “A Biblical Argument for Balanced
Apologetics: How the Apostle Paul Practiced Apologetics in the Acts” menuliskan
argumentasi yang sama dengan Habermas dan Licona diatas. Hpose menguraikan cari
berapologetika baik itu secara klasik, melalui bukti-bukti (evidential) maupun hanya berdasarkan
Alkitab yaitu bahwa Allah ada (presuppositional)
bahwa semuanya adalah anugerah Allah melalui Roh Kudus. Dalam arti Roh Kudus
bisa bekerja melalui berbagai macam cara dan hanya Roh Kuduslah yang mampu
merubah hati manusia (5).
Habermas
dan Licona menjelaskan apologetika tidak bertentangan dengan iman itu sendiri.
Mereka mendasarkan pada Kisah Para Rasul 17:2 dimana Paulus berada di bait suci.
Pada pasal yang sama ayat 16 sampai dengan 31 mengkisahkan Paulus berhadapan
dengan intelektual Athena (1).
Dari
pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Roh Kudus bisa memakai berbagai
macam cara untuk bersaksi kedalam hati manusia. Melaui Alkitab yang kita
pelajari, Roh Kudus bersaksi, dan melalui bukti-bukti Roh Kudus juga memakai
hal itu sehingga manusia bisa mengerti apa yang dipercayainya dan roh manusia
bisa ikut bersaksi. Tepat seperti yang tertulis dalam Roma 8:16, “Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh
kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah.”
Pemikiran
lanjutan: kaum intelektual selalu mengatakan bahwa Yesus tidaklah
sungguh-sungguh ada dalam sejarah. Karena Yesus tidak pernah bisa dibuktikan
keberadaanNya. Siapakah yang pernah hidup dan menyaksikan semua itu terjadi?
Bukankah semuanya bersifat dongeng seperti kisah Cinderella ataupun Putri Salju
yang sulit dibuktikan kebenarannya namun disukai banyak orang? Bagaimanakah
Apologetika menjawab tantangan ini?
----------------------
Referensi
(1) Norman L. Geisler, Christian Apologetics, pbk. ed. (Grand Rapids, Mich.: Baker Book House, 1988, ©1976), 305.
(2) Ibid., 26. Habermas dan
Licona menuliskan mengenai tulisan pujangga-pujangga tersebut. I Korintus 15:33
Paulus mengutip syair pujangga Yunani, Menander (kr 342-291 sed.M), “Pergaulan
yang buruk merusak kebiasaan yang baik”. Kis.17:28 mengutip syair Epemenides,
pujangga Kreta (kr 600 seb.M), “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak,
kita ada,” disambung dengan syair Arastus, pujangga Kilikia (kr 314-240 seb.M),
“Sebab kita ini dari keturunan-Nya juga.” Titus 1:12 Paulus mengutip syair
Epimenides, “Dasar orang Kreta pembohong, binatang buas, pelahap yang malas.”
(3) Gerald Lewis Bray, God
Is Love: A Biblical and Systematic Theology (Wheaton, Ill.: Crossway,
©2012), 22-3.
(4) Norman L. Geisler and
Chad V. Meister, Reasons for Faith: Making a Case for the Christian
Faith (Wheaton, Ill.: Crossway Books, ©2007), 53-75.
(5) Gary R. Habermas and Mike Licona, The Case for the Resurrection of Jesus (Grand Rapids, MI: Kregel Publications, ©2004), 25. (edisi bahasa Indonesia)
No comments:
Post a Comment