11 August 2016

Relasi Iman dan Apologetika

Apakah Iman bertentangan dengan Apologetika? Karena Apologetika itu sendiri berkaitan dengan memberikan pembelaan berdasarkan bukti-bukti. Sedangkan Iman itu sendiri seakan-akan berdiri sendiri dan tidak memerlukan bukti, karena iman adalah bukti itu sendiri. Ibrani 11:1 jelas menyatakan hal itu: Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.


Norman L. Geisler menuliskan pada pada bab 16 mengenai “The Historical Relibility of the New Testament” bahwa dokumen Perjanjian Baru (PB) adalah asli. Ada tiga alasannya. Pertama, dokumen PB adalah historis. Kedua, secara akurat Kristus mengklaim dirinya Allah yang berinkarnasi dan hidup suci serta menubuatkan kematianNya dan menggenapi apa yang dinubuatkanNya. Ketiga, karena itulah Kristus dan mujizatNya terbukti ada dalam sejarah (4).

Saya akan mejelaskan maksud dari Habermas dan Licona tersebut. Kis.17:2 (Seperti biasa Paulus masuk ke rumah ibadat itu. Tiga hari Sabat berturut-turut ia membicarakan dengan mereka bagian-bagian dari Kitab Suci.) menjelaskan bahwa Paulus berbincang-bincang dengan mereka, orang-orang Yahudi disana dan membungkam mereka dan menunjukkan bahwa Mesaia harus mati dan bangkit (ayat 3: “Ia menerangkannya kepada mereka dan menunjukkan, bahwa Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati, lalu ia berkata: "Inilah Mesias, yaitu Yesus, yang kuberitakan kepadamu."). Tentu saja dalam diskusi itu, Paulus mempergunakan kitab suci.

Setelah dari Thesalonika, Paulus berangkat ke Berea dan kemudian ke Athena untuk menunggu Silas dan Timotius. Di Athena Paulus berdiskusi dan berapologetika di Aeropagus. Paulus mempergunakan tulisan dari pujangga-pujangga Yunani untuk menyatakan iman Kristennya (2).

Karena itulah Paulus menuliskan dalam I Korintus 9:21, “Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat.

Gerald Lewis Bray menuliskan bahwa orang Kristen tidak dapat memaksa orang lain percaya Kristus, tapi setiap orang dapat bersaksi apa yang Allah telah lakukan dalam hidupnya. Orang Kristen harus dapat menuturkan bagaimana mereka memahami dunia ini, seperti apa posisi mereka didunia ini dan tujuan keberadaan mereka Orang Kristen yang kabur mengenai hal ini tidak akan pernah mengkomunikasikan iman mereka kepada orang lain (3).

Dari Prinsip Bray dapat kita simpulkan bahwa iman mengenai injil harus disampaikan bersamaan dengan kesaksian hidup itu sendiri. Kalau demikian, apa bedanya menyampaikan injil dengan bahan bukti dengan menyampaikan injil dengan kesaksian? Keduanya adalah hal yang merupakan tambahan yang memperkuat apologetika Injil itu sendiri.

H. Wayne House dalam makalahnya yang berjudul “A Biblical Argument for Balanced Apologetics: How the Apostle Paul Practiced Apologetics in the Acts” menuliskan argumentasi yang sama dengan Habermas dan Licona diatas. Hpose menguraikan cari berapologetika baik itu secara klasik, melalui bukti-bukti (evidential) maupun hanya berdasarkan Alkitab yaitu bahwa Allah ada (presuppositional) bahwa semuanya adalah anugerah Allah melalui Roh Kudus. Dalam arti Roh Kudus bisa bekerja melalui berbagai macam cara dan hanya Roh Kuduslah yang mampu merubah hati manusia (5).

Habermas dan Licona menjelaskan apologetika tidak bertentangan dengan iman itu sendiri. Mereka mendasarkan pada Kisah Para Rasul 17:2 dimana Paulus berada di bait suci. Pada pasal yang sama ayat 16 sampai dengan 31 mengkisahkan Paulus berhadapan dengan intelektual Athena (1).

Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Roh Kudus bisa memakai berbagai macam cara untuk bersaksi kedalam hati manusia. Melaui Alkitab yang kita pelajari, Roh Kudus bersaksi, dan melalui bukti-bukti Roh Kudus juga memakai hal itu sehingga manusia bisa mengerti apa yang dipercayainya dan roh manusia bisa ikut bersaksi. Tepat seperti yang tertulis dalam Roma 8:16, “Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah.

Pemikiran lanjutan: kaum intelektual selalu mengatakan bahwa Yesus tidaklah sungguh-sungguh ada dalam sejarah. Karena Yesus tidak pernah bisa dibuktikan keberadaanNya. Siapakah yang pernah hidup dan menyaksikan semua itu terjadi? Bukankah semuanya bersifat dongeng seperti kisah Cinderella ataupun Putri Salju yang sulit dibuktikan kebenarannya namun disukai banyak orang? Bagaimanakah Apologetika menjawab tantangan ini?

----------------------
Referensi

(1) Norman L. Geisler, Christian Apologetics, pbk. ed. (Grand Rapids, Mich.: Baker Book House, 1988, ©1976), 305.

(2) Ibid., 26. Habermas dan Licona menuliskan mengenai tulisan pujangga-pujangga tersebut. I Korintus 15:33 Paulus mengutip syair pujangga Yunani, Menander (kr 342-291 sed.M), “Pergaulan yang buruk merusak kebiasaan yang baik”. Kis.17:28 mengutip syair Epemenides, pujangga Kreta (kr 600 seb.M), “Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada,” disambung dengan syair Arastus, pujangga Kilikia (kr 314-240 seb.M), “Sebab kita ini dari keturunan-Nya juga.” Titus 1:12 Paulus mengutip syair Epimenides, “Dasar orang Kreta pembohong, binatang buas, pelahap yang malas.”

(3) Gerald Lewis Bray, God Is Love: A Biblical and Systematic Theology (Wheaton, Ill.: Crossway, ©2012), 22-3.

(4) Norman L. Geisler and Chad V. Meister, Reasons for Faith: Making a Case for the Christian Faith (Wheaton, Ill.: Crossway Books, ©2007), 53-75.


 (5) Gary R. Habermas and Mike Licona, The Case for the Resurrection of Jesus (Grand Rapids, MI: Kregel Publications, ©2004), 25. (edisi bahasa Indonesia)

No comments:

Post a Comment